Pernahkah Anda mendengar kata aspartam? Mungkin masih agak asing di telinga, tetapi tahukah bahwa asparatam adalah salah satu dari pemanis buatan yang telah dipakai secara luas, selain jenis pemanis kimia lain seperti sakarin dan siklamat.
Aspartam memiliki rasa yang lebih manis 180-200 kali dari gula yang biasa.Tak heran apabila pemanis ini banyak sekali dipakai dalam berbagai macam produk, baik makanan maupun minuman.
Aspartam juga kerap disebut sebagai pemanis buatan yang lebih keras daripada biang gula. Padahal, persepsi tentang biang gula itu sendiri masih banyak yang keliru karena kata biang gula belum mendapat kesepakatan, apakah kandungan di dalamnya dan apa yang dimaksud dengan biang gula itu sendiri.
Tak jarang orang banyak yang mengasumsikan pengertian biang gula berbeda-beda. Ada yang menyebut biang gula bukan pemanis buatan dan terdiri dari gula yang belum diproses. Padahal, aspartam yang merupakan pemanis buatan pun sering kali disebut di berbagai artikel sebagai biang gula. Dan, ini berlaku untuk pemanis buatan lainnya, seperti siklamat dan sakarin.
Bahkan, ada juga yang berpikir bahwa gula batulah yang disebut sebagai biang gula. Jadi, apakah akhirnya biang gula itu adalah gula itu sendiri ataukah gula batu ataukah merujuk pada si pemanis buatan? Sampai saat ini belum ada suatu kesepakatan mengenai apa yang disebut dengan biang gula, padahal kata ini umum digunakan di masyarakat.
Serba-serbi aspartam
Aspartam merupakan produk bubuk kristal yang tidak berbau dan berwarna putih serta kestabilannya sangatlah bergantung pada waktu, temperatur, pH, dan aktivitas air. Aspartam sangat stabil apabila dalam keadaan kering, tetapi pada temperatur 30 hingga 80 derajat celsius (dipanaskan, disterilisasi,dan lain-lain) maka aspartam akan kehilangan rasa manisnya. Oleh karena itu, pada makanan yang hanya sedikit atau cukup mengandung airlah maka rasa manis aspartam akan tetap bertahan, aspartam sendiri sangat baik untuk produk yang disimpan dalam pendingin atau dalam keadaan beku.
Berdasarkan penelitian, aspartam sebenarnya mengandung dua komponen natural yang sering terdapat di makanan pada umumnya, yaitu asam aspartik dan fenilalanin. Dua komponen ini sering terdapat pada produk alami yang beredar di masyarakat. Dalam makanan yang mengandung protein, contohnya daging, gandum, dan produk yang berasal dari susu. Selain itu, komponen ini juga sering terdapat pada beberapa jenis buah dan sayuran.
Aspartam ditemukan pada 1965 oleh seorang ahli kimia dan disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) pada 1974. Akan tetapi, izin pemasaran aspartam dicabut beberapa bulan kemudian karena adanya sebuah pengaduan bahwa bahan ini berbahaya dan merupakan bahan karsinogenik penyebab kanker sehingga perlu dievaluasi lebih lanjut. Oleh karena itu, dilakukanlah penelitian lebih lanjut mengenai aspartam sehingga tercapailah sebuah hasil yang memuaskan pihak FDA.
Pada 1981, FDA menyatakan aspartam tidak berbahaya apabila dikonsumsi secukupnya serta diberikan dengan batas pengonsumsian sehari-hari untuk penggunaan pada bahan makanan padat. Lalu, perizinan penggunaan aspartam sebagai tambahan dalam minuman soft drink menyusul pada 1983 dan akhirnya pada 1996 dinyatakan sebagai bahan pengganti pemanis buatan yang dapat digunakan secara umum.
Keamanan penggunaan aspartam telah diteliti dan diakui oleh banyak organisasi nasional dan internasional, termasuk FAO/WHO Commitee of Experts on Food Additives (JEFCA) dan disetujui oleh badan parlemen Eropa untuk digunakan sebagai pemanis buatan di bahan makanan pada 30 Juni 1994.
Bahkan, di Perancis telah disetujui sejak 1988. Nilai ambang batas/acceptable daily intake (ADI) yang telah disetujui oleh JEFCA adalah 40 mg/kgBB/hari yang apabila dikonversikan sebanyak 18-19 kaleng diet cola pada individu yang mempunyai berat badan 68 kg karena produk diet cola mengandung aspartam yang sangat sedikit.
Berdasarkan percobaan oleh Karim dkk dan Stegink dkk pada 1996, metabolisme aspartam terjadi pada saluran pencernaan menjadi komponen metanol sebanyak lebih kurang 10 persen, 40 persen asam aspartik dan 50 persen fenilalanin. Sedangkan pada penelitian Creppy dkk pada 1998 menyatakan, hanya sebagian kecil saja aspartam yang mungkin diserap tanpa dimetabolisasi. Akan tetapi, hal ini masih perlu dikonfirmasikan.
Kontroversi aspartam
Meski penggunaannya telah mendunia dan telah disetujui oleh WHO, bukan berarti aspartam langsung bisa diterima oleh masyarakat. Banyak kontroversi muncul dikarenakan adanya penelitian mengenai produk aspartam dengan beragam hasil yang berbeda.
Pada 1996, sebuah artikel yang dikemukakan oleh JW Olney menyatakan adanya kemungkinan bahwa aspartam menyebabkan peningkatan insiden dari tumor otak sehingga menimbulkan perdebatan di berbagai media.
Pada tahun yang sama, badan-badan kesehatan di berbagai belahan dunia telah memberikan reaksi dengan menyatakan pada publik bahwa berbagai macam penelitian telah dilakukan. Sejumlah penelitian lain masih berlangsung untuk mendapatkan bukti sains yang mendukung.
Sementara itu, bukti dari penelitian yang dilakukan oleh FDA FR (1981-1984), Koestner dan Cornell dkk pada 1984 serta yang dilakukan Flamm (1997) membantah pernyataan tersebut dengan menyatakan bahwa tidak ada potensi karsinogenik yang menyebabkan kanker pada pemakaian aspartam di tikus percobaan.
Perdebatan mengenai hasil penelitian Olney juga dikemukakan oleh para peneliti lain, termasuk Levy dkk pada tahun 1996 yang menyatakan bahwa jika pengumpulan data mengenai insiden tumor otak dan pemakaian aspartam dikumpulkan dari 1973 hingga 1992, hasil penelitian Olney tidak relevan, karena Levy mendapatkan hasil bahwa insiden tumor otak meningkat bukan karena mengkonsumsi aspartam.
Pendapat serupa dinyatakan oleh penelitian Lim dkk yang mengikuti perjalanan 285.079 pria dan 1888.905 wanita pengonsumsi aspartam, baik di dalam minuman mereka saat dingin maupun panas sejak 1995 hingga 2000, hasil penelitian ini mendapati bahwa tidak ada kaitannya dengan risiko kanker otak dan kelainan pembentukan darah. Studi ini dipublikasikan di jurnal Cancer epidemiology Biomarkers and Prevention pada 2006.
Salah satu penelitian terbaru pada 2008 yang membantah bahwa aspartam menyebabkan kanker adalah penelitian dari Magnuson dan Williams yang disponsori oleh Burdock Group. Ini adalah sebuah badan peneliti independen yang di-support secara finansial oleh perusahaan Ajinomoto, salah satu produsen Aspartam. Bahkan pada 2009, salah satu penelitian yang disokong oleh Italian Association for Cancer Research dan The Italian League Against Cancer menyatakan bahwa tidak terbukti bahwa aspartam menyebabkan kanker lambung, pankreas, dan lapisan rahim (endometrium).
Memang, penggunaan aspartam yang masih menjadi kontroversi tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi terjadi juga di Amerika dan sejumlah negara lainnya. Akan tetapi, sejauh ini FDA dan beberapa organisasi kesehatan lainnya masih menyatakan aman untuk dikonsumsi berdasarkan banyaknya penelitian yang dilakukan di berbagai belahan dunia dari masa ke masa.
Untuk itu, pertanyaan apakah aspartam memang aman untuk dikonsumsi? Kita kembalikan lagi kepada individu masing-masing untuk menjawabnya. Karena meski badan kesehatan dunia sudah menyatakan aman, apabila seorang individu merasa tidak nyaman untuk mengonsumsi, maka keputusan terakhir berada di tangan sang pengonsumsi.
dr Intan Airlina Febiliawanti
Baca Selengkapnya - Aspartam, Si Manis yang Menuai Kontroversi
Aspartam memiliki rasa yang lebih manis 180-200 kali dari gula yang biasa.Tak heran apabila pemanis ini banyak sekali dipakai dalam berbagai macam produk, baik makanan maupun minuman.
Aspartam juga kerap disebut sebagai pemanis buatan yang lebih keras daripada biang gula. Padahal, persepsi tentang biang gula itu sendiri masih banyak yang keliru karena kata biang gula belum mendapat kesepakatan, apakah kandungan di dalamnya dan apa yang dimaksud dengan biang gula itu sendiri.
Tak jarang orang banyak yang mengasumsikan pengertian biang gula berbeda-beda. Ada yang menyebut biang gula bukan pemanis buatan dan terdiri dari gula yang belum diproses. Padahal, aspartam yang merupakan pemanis buatan pun sering kali disebut di berbagai artikel sebagai biang gula. Dan, ini berlaku untuk pemanis buatan lainnya, seperti siklamat dan sakarin.
Bahkan, ada juga yang berpikir bahwa gula batulah yang disebut sebagai biang gula. Jadi, apakah akhirnya biang gula itu adalah gula itu sendiri ataukah gula batu ataukah merujuk pada si pemanis buatan? Sampai saat ini belum ada suatu kesepakatan mengenai apa yang disebut dengan biang gula, padahal kata ini umum digunakan di masyarakat.
Serba-serbi aspartam
Aspartam merupakan produk bubuk kristal yang tidak berbau dan berwarna putih serta kestabilannya sangatlah bergantung pada waktu, temperatur, pH, dan aktivitas air. Aspartam sangat stabil apabila dalam keadaan kering, tetapi pada temperatur 30 hingga 80 derajat celsius (dipanaskan, disterilisasi,dan lain-lain) maka aspartam akan kehilangan rasa manisnya. Oleh karena itu, pada makanan yang hanya sedikit atau cukup mengandung airlah maka rasa manis aspartam akan tetap bertahan, aspartam sendiri sangat baik untuk produk yang disimpan dalam pendingin atau dalam keadaan beku.
Berdasarkan penelitian, aspartam sebenarnya mengandung dua komponen natural yang sering terdapat di makanan pada umumnya, yaitu asam aspartik dan fenilalanin. Dua komponen ini sering terdapat pada produk alami yang beredar di masyarakat. Dalam makanan yang mengandung protein, contohnya daging, gandum, dan produk yang berasal dari susu. Selain itu, komponen ini juga sering terdapat pada beberapa jenis buah dan sayuran.
Aspartam ditemukan pada 1965 oleh seorang ahli kimia dan disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) pada 1974. Akan tetapi, izin pemasaran aspartam dicabut beberapa bulan kemudian karena adanya sebuah pengaduan bahwa bahan ini berbahaya dan merupakan bahan karsinogenik penyebab kanker sehingga perlu dievaluasi lebih lanjut. Oleh karena itu, dilakukanlah penelitian lebih lanjut mengenai aspartam sehingga tercapailah sebuah hasil yang memuaskan pihak FDA.
Pada 1981, FDA menyatakan aspartam tidak berbahaya apabila dikonsumsi secukupnya serta diberikan dengan batas pengonsumsian sehari-hari untuk penggunaan pada bahan makanan padat. Lalu, perizinan penggunaan aspartam sebagai tambahan dalam minuman soft drink menyusul pada 1983 dan akhirnya pada 1996 dinyatakan sebagai bahan pengganti pemanis buatan yang dapat digunakan secara umum.
Keamanan penggunaan aspartam telah diteliti dan diakui oleh banyak organisasi nasional dan internasional, termasuk FAO/WHO Commitee of Experts on Food Additives (JEFCA) dan disetujui oleh badan parlemen Eropa untuk digunakan sebagai pemanis buatan di bahan makanan pada 30 Juni 1994.
Bahkan, di Perancis telah disetujui sejak 1988. Nilai ambang batas/acceptable daily intake (ADI) yang telah disetujui oleh JEFCA adalah 40 mg/kgBB/hari yang apabila dikonversikan sebanyak 18-19 kaleng diet cola pada individu yang mempunyai berat badan 68 kg karena produk diet cola mengandung aspartam yang sangat sedikit.
Berdasarkan percobaan oleh Karim dkk dan Stegink dkk pada 1996, metabolisme aspartam terjadi pada saluran pencernaan menjadi komponen metanol sebanyak lebih kurang 10 persen, 40 persen asam aspartik dan 50 persen fenilalanin. Sedangkan pada penelitian Creppy dkk pada 1998 menyatakan, hanya sebagian kecil saja aspartam yang mungkin diserap tanpa dimetabolisasi. Akan tetapi, hal ini masih perlu dikonfirmasikan.
Kontroversi aspartam
Meski penggunaannya telah mendunia dan telah disetujui oleh WHO, bukan berarti aspartam langsung bisa diterima oleh masyarakat. Banyak kontroversi muncul dikarenakan adanya penelitian mengenai produk aspartam dengan beragam hasil yang berbeda.
Pada 1996, sebuah artikel yang dikemukakan oleh JW Olney menyatakan adanya kemungkinan bahwa aspartam menyebabkan peningkatan insiden dari tumor otak sehingga menimbulkan perdebatan di berbagai media.
Pada tahun yang sama, badan-badan kesehatan di berbagai belahan dunia telah memberikan reaksi dengan menyatakan pada publik bahwa berbagai macam penelitian telah dilakukan. Sejumlah penelitian lain masih berlangsung untuk mendapatkan bukti sains yang mendukung.
Sementara itu, bukti dari penelitian yang dilakukan oleh FDA FR (1981-1984), Koestner dan Cornell dkk pada 1984 serta yang dilakukan Flamm (1997) membantah pernyataan tersebut dengan menyatakan bahwa tidak ada potensi karsinogenik yang menyebabkan kanker pada pemakaian aspartam di tikus percobaan.
Perdebatan mengenai hasil penelitian Olney juga dikemukakan oleh para peneliti lain, termasuk Levy dkk pada tahun 1996 yang menyatakan bahwa jika pengumpulan data mengenai insiden tumor otak dan pemakaian aspartam dikumpulkan dari 1973 hingga 1992, hasil penelitian Olney tidak relevan, karena Levy mendapatkan hasil bahwa insiden tumor otak meningkat bukan karena mengkonsumsi aspartam.
Pendapat serupa dinyatakan oleh penelitian Lim dkk yang mengikuti perjalanan 285.079 pria dan 1888.905 wanita pengonsumsi aspartam, baik di dalam minuman mereka saat dingin maupun panas sejak 1995 hingga 2000, hasil penelitian ini mendapati bahwa tidak ada kaitannya dengan risiko kanker otak dan kelainan pembentukan darah. Studi ini dipublikasikan di jurnal Cancer epidemiology Biomarkers and Prevention pada 2006.
Salah satu penelitian terbaru pada 2008 yang membantah bahwa aspartam menyebabkan kanker adalah penelitian dari Magnuson dan Williams yang disponsori oleh Burdock Group. Ini adalah sebuah badan peneliti independen yang di-support secara finansial oleh perusahaan Ajinomoto, salah satu produsen Aspartam. Bahkan pada 2009, salah satu penelitian yang disokong oleh Italian Association for Cancer Research dan The Italian League Against Cancer menyatakan bahwa tidak terbukti bahwa aspartam menyebabkan kanker lambung, pankreas, dan lapisan rahim (endometrium).
Memang, penggunaan aspartam yang masih menjadi kontroversi tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi terjadi juga di Amerika dan sejumlah negara lainnya. Akan tetapi, sejauh ini FDA dan beberapa organisasi kesehatan lainnya masih menyatakan aman untuk dikonsumsi berdasarkan banyaknya penelitian yang dilakukan di berbagai belahan dunia dari masa ke masa.
Untuk itu, pertanyaan apakah aspartam memang aman untuk dikonsumsi? Kita kembalikan lagi kepada individu masing-masing untuk menjawabnya. Karena meski badan kesehatan dunia sudah menyatakan aman, apabila seorang individu merasa tidak nyaman untuk mengonsumsi, maka keputusan terakhir berada di tangan sang pengonsumsi.
dr Intan Airlina Febiliawanti